Vinculos patrocinados

Kamis, 28 April 2011

QASAM DALAM AL-QUR’AN

QASAM DALAM AL-QUR’AN

Oleh : Nor Khamid

I. PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, yaitu petunjuk untuk mengenal akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, petunjuk untuk mengenal akhlak akhlak yang harus diikuti oleh manusia dan petunjuk mengenal syariat dan hukum yang harus diikuti oleh mansuia , baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia ( Shihab, 1999: 40 ).

Banyak cara untuk memperoleh petunjuk Ilahi, di antaranya melalui membaca Al-Qur’an. Membaca, dalam pengertian ini, bukan hanya melafalkan teks yang dibaca , tetapi membaca dalam arti sebenarnya yaitu membaca, meneliti , mendalami, mengetahui ciri-ciri sesuatu, membaca alam, membaca tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Membaca seperti inilah yang dimaksud dan terangkum dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw. ( Shihab, 1998: 5 ). Proses pencapaian hidayat melalui aktivitas membaca dalam arti luas digambarkan oleh Quraish Shihab ( 1998: 16 ) sebagai berikut : Apabila anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, terdengarlah suara nurasi, yang mengajak Anda untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Mahamutlak...Suara hati yang Anda dengarkan itu, adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan terbawa olehnya sejak kelahiran, walau seringkali- karena kesibukan dan dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata.

Qasam yang banyak ditemukan dalam redaksi kalimat di Kitab Al-Qur’an sangat perlu dibaca dan ditelaah. Ada rahasia apa dibalik pemakaian qasam dalam Al-Qur’an. Secara singkat, pemakalah akan membahas materi aqsam dalam Al-Qur’an, yang dimulai dari pengertian qasam, faedah qasam, unsur sighat qasam dan macam-macam qasam.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Qasam

Qasam menurut bahasa berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Sedangkan menurut syarak ( hukum Islam ) adalah menahkikkan sesuatu atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya ( Ensiklopedi Hukum Islam, 1993: 294 ). Menurut Baidan (1998: 213 ) qasam adalah menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat sumpah) seperti و , ب dan huruf lainnya. Dengan dua pengertian qasam dia atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qasam adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya dengan menggunakan huruf sumpah ( al-qasam ), yaitu waw, ba, dan ta, seperti wallahi ( demi Allah ), billahi ( demi Allah ), dan tallahi ( demi Allah ).

B. Faedah Qasam dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan untuk semua manusia. Meskipun demikian, tanggapan manusia sangat beragam terhadap Al-Qur’an, di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada yang memusuhinya. Keragaman tanggapan ini dicarikan solusinya dalam Al-Qur’an dengan menggunakan qasam yang tetap memperhatikan keadaan lawan bicaranya. Ada tiga pola yang digunakan Al-Qur’an yang terkenal dengan sebutan adrubul khabar as-salasah, yaitu ibtida’i, talabi dan ingkari ( Al-Khattan, 2001: 414 ).

Khabar Ibtida’i digunakan pada mukhatab yang hatinya masih kosong, belum mempunyai persepsi yang miring atau masih bersih dari memikirkan masalah yang dijadikan. Berbicara dengan orang seperti ini tidak menggunakan penguat ( ta’kid ). Sedangkan khabar yang digunakan dalam membahas suatu masalah dimana mukhatabnya masih ragu , maka mukhatab tersebut perlu penguat untuk menghilangkan keraguannya. Khabar ini dinamakan khabar talabi. Namun jika mukhatab menolak pernyataan yang disampaikan, maka diperlukanlah penguat sesuai dengan tingkat kadar penolakannya. Khabar seperti ni dinamakan khabar inkari.

Qasam dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk mengikat jiwa (hati ) agar tidak melakukan sesuatu, dengan ‘suatu makna’ yang dipandang besar , agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi oleh orang yang bersumpah (( Al Khattan, 2001: 414 ). Realitas ini telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalahnya dan menjadi adat kebiasaan secara turun temurun. Dalam prakteknya, mereka sering menggunakan kata Allah, meskipun mereka dikenal dengan penyembah berhala ( paganism ). Hal ini telah disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 sebagai berikut:

Artinya :”dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran).”

Kebiasaan-kebiasaan qasam yang dilakukan oleh bangsa Arab ini tidak ditolak oleh Islam, tetapi justru dijadikan sarana untuk mengkomusikasikan Al-Qur’an kepada mereka. Hal ini terjadi mengingat Al-Qur’an diturunkan pada masyarakat arab yang menggunakan bahasa Arab ( Hamzah, 2003: 207 ).

Seiring dengan perkembangan zaman, qasam digunakan dalam berbagai hal, seperti sumpah di pengadilan, sumpah jabatan, sumpah organisasi dan lain sebagainya. Melihat reaitas ini, para alim merumuskan ketentuan qasam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Nasruddin Baidan ( 1998: 16 ) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaanya, sumpah harus memenuhi 4 rukun, yaitu: muqsim (pelaku sumpah),muqsam bih (sesuatu yang dipakai sumpah), adat qasam (alat untuk bersumpah), dan muqsam “alaih ( jawab sumpah). Sedangkan Al Khattan menyebutkan 3 unsur qasam, yaitu fi’il yang Ditransitifkan dengan “ba”, muqsam bih dan muqsam alaih ( Al Khattan, 2001: 414 ).

Mengingat qasam merupakan sesuatu yang sakral, maka para alim menggali aturan hukum yang dapat menempatkan sumpah ke dalam posisi yang tetap sakral, yaitu dengan menetapkan konsekuensi yang harus diterima oleh orang yang melakukan sumpah dusta atau melanggar sumpah. Konsekuensi yang dimaksud adalah membayar kafarah sumpah sebagai berikut : (1) Memerdekakan seorang budak, atau (2) Memberi makan sepuluh orang miskin, atau ( 3) Memberi pakain kepada sepuluh orang miskin ( Ibrahim, 1992: 270 ).

C. Unsur Sigat Qasam

Dalam pembahasan unsur- unsur sigat qasam, pemakalah memakai kreteria yang disampaikan Al Khattan sebagai berikut:

1. Fi’il yang Ditransitifkan dengan “Ba”

Dalam praktiknya, fiil qasam sering dihilangkan dan dicukupkan dengan dengan ba, wawu atau ta’. Ketiga huruf inilah yang disebut adat qasam oleh Baidan ( 1998: 114 ). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1993: 295 ) dijelaskan bahwa lafal sumpah harus menggunakan huruf sumpah ( al-qasam ), yaitu waw, ba, dan ta, seperti wallahi ( demi Allah ), billahi ( demi Allah ), dan tallahi ( demi Allah ).

2. Muqsam Bih

Muqsam bih adalah sesuatu yang digunakan untuk bersumpah ( Al Khattan, 2001: 413 ). Kekuatan dan kesakralan sumpah tergantung dari muqsam bih yang digunakan. Termasuk konsekuensi yang akan diterima oleh orang yang mengucapkan.

Dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan muqsam bih dengan apa saja yang dikehendaki ( Al Khattan, 2001: 416 ). Namun, secara garis besar, muqsam bih yang digunakan Allah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Sumpah Allah dengan Dzat-Nya sendiri.

Sumpah Allah dengan Dzat-Nya ini dimaksudkan untuk memantapkan eksistensi Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya ( Al Jauziyah, 2001: 9 ).

Muqsam bih dengan Dzat Allah ini disebut sebanyak 7 tempat dalam Al-Qur’an ( Al Khattan, 2001: 416 ), diantaranya:

Artinya: “ orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”( QS At Tagabun ( 64) : 7 )

Artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” ( QS Al Hijr ( 15 ) : 92)

Artinya: “Demi Tuhanmu, Sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut.” ( QS Maryam (19): 68 )

b. Sumpah Allah dengan sebagian makhluk-Nya

Sumpah ini merupakan sumpah yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an. Sumpah ini digunakan dengan maksud untuk menunjukkan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat-Nya yang agung ( Al Jauziyah, 2001: 9 ), di antaranya :

Artinya: “1. demi matahari dan cahayanya di pagi hari, 2. dan bulan apabila mengiringinya, 3. dan siang apabila menampakkannya, 4. dan malam apabila menutupinya, 5. dan langit serta pembinaannya, 6. dan bumi serta penghamparannya, 7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” ( QS Asy Syams ( 91 ): 1-9 ).

Artinya : “ demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,@ dan demi bukit Sinai,@ dan demi kota (Mekah) ini yang aman,@ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya( QS Attin ( 95 ) : 1-4 )

Artinya: “ demi malam apabila menutupi (cahaya siang),@ dan siang apabila terang benderang, @dan penciptaan laki-laki dan perempuan, @Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda ( QS Al Lail (92) : 1-4 )

Khusus sumpah yang dilakukan manusia, syariat Islam memberikan aturan yang jelas, yaitu bersumpah hanya dengan Allah saja. Sedangkan bersumpah selain Allah dipandang syirik. Yusuf Qardhawi ( 1995: 522 ) menjelaskan bahwa apabila seseorang bersumpah dengan Allah berarti dia mengagungkan-Nya dan mentauhidkan-Nya. Kalau berdusta, ia tinggal menanggung dosanya. Namun, bila seseorang bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik. Fatwa ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. :

من حلف بغير الله فقد اشرك ( رواه احمد والترمذى والحكيم وابن عمر )

Artinya : “Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan syirik.”

Qasam, jika dilihat dari nampak tidaknya fi’il qasam dan muqsam bih dapat dibedakan menjadi 2 ( Al Khattan, 2001: 417 ), yaitu:

a. Zahir, yaitu sumpah yang di dalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Fi’il qasam, kadang disebutkan dan kadang dihilangkan. Fiil qasam yang dihilangkan ini disebabkan karena dipandang cukup dengan huruf jar berupa ba, wawu dan ta’. Contohnya :

IArtinya: (1) aku bersumpah demi hari kiamat,(2) dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri) ( QS A Qiyamah ( 75 ) : 1-2 )

Artinya: “(1) demi matahari dan cahayanya di pagi hari,(2) dan bulan apabila mengiringinya,( QS Asy-Syams ( 91 ): 1-2 )

b. Mudmar yaitu sumpah yang di dalamnya tidak disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih, tetapi ditunjukkan oleh “ lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran : 186 :

Artinya : “ kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.”

3. Muqsam ‘Alaih

Muqsam ‘alaih atau dikenal dengan jawab qasam adalah sesuatu yang karenanya sumpah diucapkan. Dengan kata lain, qasam diucapkan karena untuk mengukuhkan muqsam alaih. Mudzakir, dalam menterjemahkan kitab Mabahis fi “ulumil Qur’an memberi penjelasan bahwa dalam gramatika bahasa Arab, qasam dan syarat merupakan unsur suatu kalimat. Keduanya harus mempunyai pernyataan jawab yang lazim disebut jawab qasam (muqsam alaih ), seperti kalimat “ Demi Allah, saya akan bersedekah “, dan jawab syarat, seperti kalimat “ Jika kamu rajin belajar, tentu akan pandai. (Al Khattan, 2001: 422 )

Berkaitan dengan pembahasan muqsam alaih, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan , yaitu :

a. Materi muqsam ‘alaih haruslah materi yang layak dikuatkan, seperti berita ghaib, bukan hal-hal kecil dan remeh.

b. Muqsam alaih pada umumnya disebutkan, namun kadang ada juga yang dihilangkan. Adapun contoh jawab qasam yang disebutkan adalah :

Artinya: “(1) demi matahari dan cahayanya di pagi hari, (2) dan bulan apabila mengiringinya, (3)dan siang apabila menampakkannya, (4) dan malam apabila menutupinya (5) dan langit serta pembinaannya, (6) dan bumi serta penghamparannya, (7) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), (8). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya(9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, ( QS Asy Syams ( 91 ) : 1-9 ).

Sedangkan contoh jawab qasam yang dihilangkan adalah:

Artinya: “ (1) demi fajar, (2) dan malam yang sepuluh (3) dan yang genap dan yang ganjil, (4) dan malam bila berlalu. (5) pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. (6) Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad? ( QS Al Fajr ( 89 ) : 1-6 ).

Menurut sebagian ulama bahwa jawab qasam pada ayat di atas dihilang, yakni “ Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Mekkah. Meskipun demikian, Al Khattan berpendapat lain, bahwa ayat di atas sebenarnya tidak memerlukan jawab, karena muqsam bihnya adalah waktu yang mengandung amal yang pantas untuk dijadikan oleh Allah sebagai muqsam bih.

c. Allah bersumpah untuk menetapkan bahwa muqsam alaih merupakan pokok –pokok keimanan yang wajib diketahui oleh makhluknya . Adapun ayat-ayat tersebut diantaranya sebagai berikut :

Artinya: (1) Yaa siin (2) demi Al Quran yang penuh hikmah,(3). Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul,( QS Yasin ( 36 ) : 1-3 )

Artinya: “(1)demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya (2) dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat),(3)dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, (4) Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.”(QS Ashshffat: 1-4)

d. Muqsam alaih, jika dilihat dari jumlah ( kalimat ) yang digunakan ada 2 yaitu jumlah khabariyah dan thalabiyah. Jumlah Khabariyah adalah kalimat berita yang bersifat informatif dan inilah yang paling banyak sebagaimana firman Allah :

Artinya:” Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti Perkataan yang kamu ucapkan.” ( QS Az-Zariyat ( 51 ): 23 )

Adapun jumlah talabiyah adalah kalimat yang tidak informatif yang berisi perintah, larangan, pertanyaan dan sebagainya.Sebagaimana firman Allah :

Artinya:”. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, @ tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” ( QS Al Hijr ( 15) : 92-93 ).

III. KESIMPULAN

Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari mekalah di atas, yaitu :

a. Qasam adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya dengan menggunakan huruf sumpah ( al-qasam), yaitu waw, ba, dan ta, seperti wallahi ( demi Allah ), billahi (demi Allah ), dan tallahi ( demi Allah ).

b. Qasam berfaedah untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran dalam jiwa tentang sesuatu yang diucapkan/ disampaikan kepada mukhatab dengan menggunakan sesuatu yang dipandang agung, besar dan sakral. Dalam Islam, sesuatu yang boleh digunakan untuk sumpah oleh manusia adalah Allah dan sifat-sifatnya, sedangkan bagi Allah berhak menggunakan sumpah dengan apa saja yang dikehendaki, baik Dzat-Nya sendiri ataupun makhluk-Nya.

c. Ada tiga unsur qasam, yaitu fi’il yang Ditransitifkan dengan “ba”( adat qasam), muqsam bih dan muqsam alaih. Adat qasam terdiri dari tiga huruf, yaitu ba, ta, dan wawu. Muqsam bih bagi Allah meliputi Dzat-Nya dan makhluk-Nya, sedangkan bagi manusia, muqsam bih harus kepada Allah atau sifat-sifat-Nya. Muqsam ‘alaih adalah jawab qasam.

IV. PENUTUP

Banyak hal yang belum dibahas dan dikupas dalam makalah ini berkaitan dengan konsep Al-Qur’an mengenai qasam. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan pemalakah, di antaranya hikmah dibalik redaksional aqsam yang digunakan oleh Al-Qur’an. Di samping itu, kesalahan pemahaman pun sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, masukan, kritik, saran yang konstruktif sangat diperlukan demi perbaikan

DAFTAR PUSTAKA

Al Jauziyah, Ibnu Qayyum. 2001. At tibyanu fi Aqsamil Qur’ani. Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyah.

Al Khattan, Manna” Khalil. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Depag RI. 1993. Ensiklopedi Hukum Islam. Cet.I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media

Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Imam Abu Ishaq. 1992. Kunci Fiqih Syafi’i. Terj. Hafid Abdullah.Semarang: Asy-Syifa’

Qardhawi, Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Terj. As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press

Shihab, M. Quraish. 1998. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet.VIII. Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir Al Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Cet.VII. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M.Quraish. 1999. ”Membumikan” Al-Quran. Cet.XIX . Bandung: Mizan

BACA LANJUTANNYA >>

Rabu, 27 April 2011

KRITIK SANAD HADIS

KRITIK SANAD HADIS

Oleh : Nor Khamid

NIM: 105112102

A. PENDAHULUAN

Islam sebagai dinullah memiliki dua sumber utama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sumber yang disebut terakhir sering pula dinamakan Al-Hadis. As-Sunnah atau Al-Hadis, antara lain, merupakan penjabaran dari sumber pertama, dan dalam kaitan ini fungsi Al-Hadis ternyata sangat strategis bagi kehidupan dan penghidupan umat.

Di lihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan al-Qur’an. Dalam Al-Qur'an, semua periwayatanya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadits, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawattir dan sebagian lagi berlangsung ahad. Hadits mengenal istilah shahih, hasan, mardud dan dhoif . Dengan demikian, pemberlakuan terhadap hadis pun harus berbeda. Kecermatan dalam pemakaian hadis untuk pengambilan keputusan hukum harus dilakukan, dianataranya tentang siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya, dan alin sebagainya. Lain halnya dengan Al-Qur'an yang tidak mengenal istilah tersebut, karena Al-Qur'an dari segi periwayatannya adalah mutawatir dan tidak lagi diragukan isinya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an tidak lagi perlu dilakukan penelitian terhadap keasliannya, karena sudah tidak ada keraguan terhadapnya. Sedangkan hadits perlu sikap kritis untuk menyikapi kehadirannya dengan diadakan penelitian. Dari penelitian ini akan diketahui bahwa hadits ini memang benar dari Nabi Muhammad dan bukan hadits yang palsu. Penelitian ini bukan meragukan keseluruhan hadis Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian kita dalam pengambilan dasan hukum dalam agama. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti NabiMuhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya.

Dari pentingnya permasalahan ini maka muncullah berbagai macam kritik atas hadits dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadits. Dalam ilmu hadits tradisi penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadis yaitu sanad, matan dan rawi ( Mudasir, 2005: 61). Dalam ilmu sejarah, penelitian matn atau nagdul matn dikenal dengan istilah kritik intern, atau an-naqdud dakhili, atau an-naqdul-batini. Untuk penelitan sanad atau naqdus-sanad, istilah yang biasa dipakai dalam ilmu sejarah ialah kritik ekstern, atau an-naqdul-khariji, atau an-naqduz zahiri ( Ismail, 1992: 4-5 ).

Dalam studi hadis persoalan sanad dan matn merupakan dua unsur yang penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenya suatu berita yang tidak memilki sanad tidak dapat disebut sebagai hadis; demikian sebaliknya matn, yang sangat memerlukan keberadaan sanad ( Soebahar, 2003: 174 ).

Agar umat Islam dapat memiliki kesamaan persepsi dan afeksi terhadap posisi dan fungsi Al Hadits dengan tepat maka perlulah kiranya untuk mempelatasi ilmu hadits. Dalam makalah ini pembahasan hanya dibatasi pada kritik sanad hadits dengan rincian pembahasan : pengertian kritik hadis, tolak ukur kesahihan sanad hadis, perangkat- perangkat pembantu ( seperti data para rawi) dan Al jarh wa al-ta’dil sebagai alat analisis.

B. PEMBAHASAN MASALAH

1. Pengertian Kritik Hadis

Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata naqd atau dari kata tamyiz yang diartikan; sebagai usaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran( Bustamin, 2004: 7). Jadi kritik disini sebagai upaya mengkaji hadis Rasulallah saw. untuk menentukan hadis yang benar-benar datang dari Nabi Muhammad SAW.

Pengertian kritik dengan mnggunakan kata naqd mengidentfikasikam bahwa kritik studi harus dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pengimbang yang baik, ada timbal balik menerima dan memberi, terarah pada sasaran yang dikritik. Adanya unsur perdebatan yang berarti mengeluarkan pemikiran masing-masing (Fudhaili, 2005: 26-27) . Dengan demikian, pengertian kritik harus bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang tersembunyi.

Lebih lanjut, Fudhaili ( 2005: 27-28 ) mengutip pendapat para ahli tentang definisi kritik hadits sebagai berikut:

a) Menurut Muhammad Tahir al-Jawaby. Ilmu kritik hadis adalah ketentuan terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama-ulama hadis. Kemudian meneliti matn hadis yang telah dinyatakan sahih dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-dhaifan matn hadis tersebut, mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan sahih, mengatasi kontradisi pemahaman hadis dengan pertimbangan yang mendalam.

b) Menurut Muhammad Mustafa Azami Kemungkinan definisi kritik hadis adalah membedakan (al-Tamyis) antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menentukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya.

Jika melihat definisi diatas maka sebenarnya kritik sudah ada pada zaman Nabi Muhammad, pengertian kritik pada masa ini hanya bersifat konfirmatif untuk memperkuat kebenaran informasi yang diterima. Metode sederhana yang ada pada nabi menjadi landasan dasar dalam perkembangan ilmu kritik hadis yang sistematis.

Dalam penelitian hadits, kritik sanad didahulukan dari kritik matan, karena hasil kritik sanad menentukan apakah kritik matan perlu dilakukan atau tidak (Ismail, 1995: 86 ).

Untuk dapat melakukan kritik sanad ini ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh peneliti. Ulama’i ( 2006: 25 ) menyebutkan 3 hal yang harus dipenuhi oleh peneliti sebelum melakukan kritik sanad, yaitu:

a) Memahami tolak ukur kesahihan sanad hadis

b) Tersedianya bagi peneliti perangkat- perangkat pembantu ( seperti data para rawi).

c) Memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk ilmu Al jarh wa al-ta’dil sebagai alat analisis.

2. Memahami Tolak Ukur Keshahihan Sanad Hadis

Langkah awal mengkritisi sanad adalah takhrij yang kemudian dituangkan dalam skema sanad ( guna memudahkan pembacaan jaringan sanad hadis yangs edang diteliti, maka untuk selanjutnya dilakukan telaah kritis terhadap sanad hadits tersebut. Namun sebelum menetapkan suatu hadits itu shahih atau tidak, diperlukan tolok ukur yang baku tentang hadits shahih. Dr. M. Syuhudi Ismail (1992: 65 ) mengemukakan tujuh butir tolok ukur keshahihan hadits sebagai berikut:

a) Yang berhubungan dengan sanad: (1) sanad bersambung;(2) periwayat bersikap adil;(3) periwayat bersifat dabit;(4) terhindar dari kejanggalan (syuzuz); dan (5) terhindar cacat (illat).

b) Yang berhubungan dengan matn: (1) terhindar dari kejanggalan (syuzuz);dan terhindar dari cacat (illat).

An Nawawi juga mengemukakan kreteria hadis shahih yang disimpulkan isinya oleh Ulama’I ( 2006: 26-31 ) sebagai berikut :

a) Sanadnya bersambung, artinya tiap tiap rawi dalam sanad hadis menerima riwayat dari rawi terdekat sebelumnya dan keadaan itu berlangsung sampai akhir sanad. Lebih lanjut Ulama’I menjelaskan kaidah minor sanad hadis yang bersambung sebagai berikut:

1) Seluruh rawi dalam sanad benar-benar tsiqah ( adil dan dlabith)

2) Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad tersebut benar-benar terjadi hubungan periwayatan secara sah berdasarkan kaedah tahammul wa ada’ al hadits.

3) Disamping muttashil juga harus marfu’

b) Seluruh rawi dalam sanad tersebut adil

Kreteria adil yang diberlakukan dalam ilmu hadis, para ulama berbeda pendapat. M Syuhudi Ismail ( 1992: 67 ) menghimpun kreteria adil dalam ilmu hadis sebagai berikut: (1) beragama Islam; (2) mukalaf (mukallaf); (3) melaksanakan ketentuan agama ; dan (4) memelihara muru’ah. Lebih lanjut, Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa kreteria keadilan periwayat diberlakukan apabila periwayat yang bersangkutan melakukan kegiatan menyampaikan riwayat hadis. Jika kegiatan menerima hadis, kreterium tersebut tidak berlaku.

c) Seluruh rawi dalam sanad tersebut dlabith

Ulama hadits berbeda pendapat dalam memberikan pengertian dlabith dalam ilmu hadits. Meskipun demikian, M. Syuhudi Ismail (1992: 70 ) merangkum dan mempertemukan perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:

1) Periwayat yang bersifat dabit adalah periwayat yang (a) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya; dan (b) mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.

2) Periwayat yang bersifat dabit ialah periwayat yang selain disebutkan dalam butir pertama di atas, juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu.

Ulama’i ( 2006: 29) menyampaikan kaidah minor rowi hadis yang dlabith sebagai berikut:

1) Rawi memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya.

2) Rawi tersebut hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya.

3) Rawi tersebut mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik, kapan saja dia kehendaki dan sampai saat dia menyampaikan kembali riwayat tersebut kepada orang lain.

Lebih lanjut, Ulamai menjelaskan bahwa untuk mengetahui ke-dlabith-an rawi ini ditetapkan melalui:

1) Kesaksian ulama

2) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan periwayatan orang lain.

3) Kekeliruan yang sesekali tidak sampai menggugurkan nilai kedlabithan.

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan lima perilaku yang dapat merusak kedlabithan perawi, yaitu: (1) dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya daripada benarnya;(2) lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya;(3) riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan; (4) riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang siqah; dan (5) jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu benar (Ismail, 1992: 71).

d) Hadisnya terhindar dari syudzudz, artinya seorang yang tsiqah yang menyalahi riwayat orang yang lebih tsiqah darinya.

e) Hadisnya terhindar dari ‘illat

Illat adalah sebab tersembunyi yang merusakkan kualitas hadits, seperti mursalnya hadis yang dinilai mauquf.

Berkaitan dengan syuzuz dan ‘illat, Ismail ( 1992: 86 ) menjelaskan bahwa ulama ahli hadis pada umumnya mengakui bahwa meneliti syuzuz dan ‘illat tidaklah mudah. Sebagian ulama menyatakan :

1) Penelitian tentang syuzuz dan ‘illat hadis hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mendalam pengetahuan hadis mereka dan telah terbiasa melakukan penelitian hadis.

2) Penelitian terhadap syuzuz hadis lebih sulit daripada penelitian terhadap illat hadis.

3. Tersedianya Perangkat Pembantu

Untuk mengetahui kredibilats masing-masing rawi, seorang peneliti harus memiliki cukup data yang cukup tentang nama lengkap, tahun wafatnya, guru hadis dan muridnya ( dalam periwayatan ) serta penilaian ulama terhadapnya (Ulamai, 2006: 31 )

Banyak kitab yang sangat membantu peneliti. M Syuhudi Ismail (1992: 90-97 ) memberikan contoh kitab-kita hadis tersebut sebagai berikut:

a. Kitab yang membahas biografi para sahabat nabi, antara lain:

1) Al-Isti’abu fii Ma’rifatil ashhabi oleh Ibnu ‘Abdil Barr

2) Ususul ghayati fii Ma’rifatil shahabati oleh ‘Izud-Din Ibnul Asir

b. Kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang disusun berdasarkan tingkatan periwayat, antara lain:

1) Ath-thabaqatul Kubro oleh Ibnu Sa’ad

2) Kitabu Tadzkiratil Huffadz oleh Muhammad bin Ahmad Az Zahabi

c. Kitab yang membahas para periwayat hadits untuk kitab hadis tertentu, antara lain:

1) Al Hidayatu wal Irsyadu fii Ma’rifati Ahli Ats-Tsiqah was Sadadi oleh Ahmad Muhammad Al Kalabazi

2) Rijalu shahihi Muslim oleh Ahmad bin Ai Al Asfahani

3) At Ta’rif birijalil Muwaththa’ oleh Muhammad bin Yahya At Tamimi.

d. Kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis, antara lain:

1) Kitabuts Tsiqati oleh Abul Hasan Ahmad bin ‘Abdillah Al Ijli

2) Kitabuts Tsiqati oleh Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al Busti

3) Ad dlua’afau A Kabiru oleh Al Bukhari

4) Kitabudl Dluafa’u oleh Abu Ja’far Muhammad bin Amr Al Uqaili

e. Kitab yang membahas para periwayat hadis berdasarkan negara asal, antara lain:

1) Tarikhu Wasithin oleh Bahsyal ( Abul Hasam Alam nin Syahl )

2) Tarikhur Riqqati oleh Muhammad bin Said Al Qusyairi

3) Tarikhu daraya oleh Abu ‘Abdillah ‘Abdul Jabbar Ad Darani.

4. Seluk Beluk Ilmu Al Jarh wa Al-Ta’dil

Al Jarh berdasarkan kajian bahasa merupakan masdar dari kata jarah-yajrahu yang berarti melukai. Sedangkan menurut istilah hadis, kata al jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut ( Ismail, 1992: 72 ). Lebih lanjut, Ismail ( 1992: 73 ) menjelaskan bahwa At ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala yang berarti mengemukakan sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, at ta’dil adalah mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.

Pengertian al jarh wa at ta’dil yang secara singkat diartikan kritik yang berisi celaan dan pujian terhadap para periwayat hadits dibahas dalam ilmu al jarh wa at ta’dil. Mengenai keberadaan ilmu ini, terjadi pro-kontra di kalangan ulama. Menurut An Nawawi dan Al Ghazali serta beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa ghibah seseorang terhadap orang lain baik yang telah meninggal maupun masih hidup diperbolehkan selama untuk maksud syara’ yaitu segala sesuatu yang tidak memungkinkan mencapai maksud syara’ kecuali dengan cara tersebut (Ulama’i, 2006: 37 ). Al-Dzahabi menambahkan bahwa (1)Bila seseorang yang dicacat tersebut tidak memiliki riwayat, amka wajib secara syar’iy untuk mendiamkannya.(2) Pencacatan rawi ini hanya boleh pada masa awal ( pra pembukuan ) yaitu ketika hadis dikutib dan ditempatkan dalam dada ( dihafal), sedangkan seteah dibukukan, maka cukup menyandarkan pada apa yang telah tertuang dalam kitab ( Ulamai, 206: 38 ).

Ulama yang ahli di bidang kritik para periwayat hadis disebut Al Jarih wa muaddil. Jumlah mereka relative sedikit, karena ulama telah mengemukakan syarat-syarat yang yang haru dipenuhi oleh Al Jarih wa muaddil. Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib ( Ismail, 1992: 74 ) menyebutkan syarat sebagai berikut:

a. Syarat-syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi, yakni (a) bersikap adil, (b) tidak bersikap fanatic terhadap aliran atu mazhab yang dianutnya, dan (c) tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang berbeda aliran dengannya.

b. Syarat-syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, mereka disyaratkan memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama (a) ajaran Islam, (b) bahasa Arab, (c) hadis dan ilmu hadis, (d) pribadi periwayat yang dikritiknya, (e) adat istiadat yang berlaku dan (f) sebab-sebab yang melatarbelakanginya sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.

Dalam makalah ini akan disampaikan beberapa kaidah atau teori yang dikemukakan oleh ulama ahli Al-Jarh wat ta’dil dan dirangkum dalam bukunya Ismail ( 1992: 77-81 ), di antaranya:

1. التَعْديلُ مُقَدَّمٌ على الجَرْحِ

Maksudnya bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan, jadi yang dipilih adalah kritikan yang berisi pujian.

Alasan pemakaian dalil ini adalah sifat dasar perawi hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Karenanya, bila sifat dasar berlawanan denagn sifat yang datang kemudian, maka yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya.

2. الجرح مُقَدَّمٌ على التَعْديل

Maksudnya adalah bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan , jadi yang dipilih, adalah kritikan yang berisi celaan.

Alasan pemakaian dalil ini adalah (a) kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya itu (b) Yang menjadi dasar untuk emuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwata yang bersangkutan.

3. الجرحُ الناشِئُ عن عداوةِ دُنْيَوِيةٍ لايُعْتَدُّ به

Artinya: Al Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.

Maksudnya apabila kritikus yang mencela periwayatan tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.

Alasan pemakaian kaidah ini adalah pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian makalah diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Ilmu kritik hadis adalah ilmu yang membahas tentang para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya berdasarkan standar yang dibuat oleh ulama-ulama hadis, kemudian meneliti matn hadis yang telah dinyatakan sahih dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-dhaifan matn hadis tersebut, mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan sahih, mengatasi kontradisi pemahaman hadis dengan pertimbangan yang mendalam.

2. Untuk dapat melakukan kritik sanad ini ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh peneliti, antara lain: (a)Memahami tolak ukur kesahihan sanad hadis, (b)tersedianya bagi peneliti perangkat- perangkat pembantu ( seperti data para rawi), (c)memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk ilmu Al jarh wa al-ta’dil sebagai alat analisis.

3. Kreteria hadis shahih ada 5 yaitu : (1)sanad bersambung;(2) periwayat bersikap adil;(3) periwayat bersifat dabit;(4) terhindar dari kejanggalan (syuzuz); dan (5) terhindar cacat (illat).

4. Pengertian al jarh wa at ta’dil yang secara singkat diartikan kritik yang berisi celaan dan pujian terhadap para periwayat hadits dibahas dalam ilmu al jarh wa at ta’dil. Meskipun terjadi pro-kontra, mengingat pentingnya ilmu ini dalam membahas hadis maka sebagian ulama berpendapat bahwa ghibah seseorang terhadap orang lain baik yang telah meninggal maupun masih hidup diperbolehkan selama untuk maksud syara’

D. PENUTUP

Makalah dengan judul “Kritik Sanad Hadis” mengambil referensi dari sumber yang terbatas, sehingga kajiannya hanya menyentuh bagian luar saja. Karena itu, tambahan, kritik,dan saran yang konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Bustamin. 2004. Metodologi Kritik hadis. Jakarta: Raja Grafindo. Jakarta.

Fudhaili, Ahmad. 2005. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadis-Hadis Sahih. Yogyakarta: Pilar media.

Ismail, M.Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.

Ismail, M.Syuhudi. 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan pemalsunya. Jakarta: Bulan Bintang.

Mudasir. 2005. Ilmu hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Soebahar, Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Musthofa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmaf Amin Mengeanai Hadits dalam Fajr al-Islam. Jakarta: Kencana.

Ulama’i, A Hasan Asy’ari. 2006. Melacak Hadis Nabi saw. Cara Cepat Mencari Hadis dari Manual hingga Digital. Semarang: Rasail.

BACA LANJUTANNYA >>
And Hamid © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute