Vinculos patrocinados

Kamis, 28 April 2011

QASAM DALAM AL-QUR’AN

QASAM DALAM AL-QUR’AN

Oleh : Nor Khamid

I. PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, yaitu petunjuk untuk mengenal akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, petunjuk untuk mengenal akhlak akhlak yang harus diikuti oleh manusia dan petunjuk mengenal syariat dan hukum yang harus diikuti oleh mansuia , baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia ( Shihab, 1999: 40 ).

Banyak cara untuk memperoleh petunjuk Ilahi, di antaranya melalui membaca Al-Qur’an. Membaca, dalam pengertian ini, bukan hanya melafalkan teks yang dibaca , tetapi membaca dalam arti sebenarnya yaitu membaca, meneliti , mendalami, mengetahui ciri-ciri sesuatu, membaca alam, membaca tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Membaca seperti inilah yang dimaksud dan terangkum dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw. ( Shihab, 1998: 5 ). Proses pencapaian hidayat melalui aktivitas membaca dalam arti luas digambarkan oleh Quraish Shihab ( 1998: 16 ) sebagai berikut : Apabila anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, terdengarlah suara nurasi, yang mengajak Anda untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Mahamutlak...Suara hati yang Anda dengarkan itu, adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan terbawa olehnya sejak kelahiran, walau seringkali- karena kesibukan dan dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata.

Qasam yang banyak ditemukan dalam redaksi kalimat di Kitab Al-Qur’an sangat perlu dibaca dan ditelaah. Ada rahasia apa dibalik pemakaian qasam dalam Al-Qur’an. Secara singkat, pemakalah akan membahas materi aqsam dalam Al-Qur’an, yang dimulai dari pengertian qasam, faedah qasam, unsur sighat qasam dan macam-macam qasam.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Qasam

Qasam menurut bahasa berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Sedangkan menurut syarak ( hukum Islam ) adalah menahkikkan sesuatu atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya ( Ensiklopedi Hukum Islam, 1993: 294 ). Menurut Baidan (1998: 213 ) qasam adalah menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat sumpah) seperti و , ب dan huruf lainnya. Dengan dua pengertian qasam dia atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qasam adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya dengan menggunakan huruf sumpah ( al-qasam ), yaitu waw, ba, dan ta, seperti wallahi ( demi Allah ), billahi ( demi Allah ), dan tallahi ( demi Allah ).

B. Faedah Qasam dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan untuk semua manusia. Meskipun demikian, tanggapan manusia sangat beragam terhadap Al-Qur’an, di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada yang memusuhinya. Keragaman tanggapan ini dicarikan solusinya dalam Al-Qur’an dengan menggunakan qasam yang tetap memperhatikan keadaan lawan bicaranya. Ada tiga pola yang digunakan Al-Qur’an yang terkenal dengan sebutan adrubul khabar as-salasah, yaitu ibtida’i, talabi dan ingkari ( Al-Khattan, 2001: 414 ).

Khabar Ibtida’i digunakan pada mukhatab yang hatinya masih kosong, belum mempunyai persepsi yang miring atau masih bersih dari memikirkan masalah yang dijadikan. Berbicara dengan orang seperti ini tidak menggunakan penguat ( ta’kid ). Sedangkan khabar yang digunakan dalam membahas suatu masalah dimana mukhatabnya masih ragu , maka mukhatab tersebut perlu penguat untuk menghilangkan keraguannya. Khabar ini dinamakan khabar talabi. Namun jika mukhatab menolak pernyataan yang disampaikan, maka diperlukanlah penguat sesuai dengan tingkat kadar penolakannya. Khabar seperti ni dinamakan khabar inkari.

Qasam dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk mengikat jiwa (hati ) agar tidak melakukan sesuatu, dengan ‘suatu makna’ yang dipandang besar , agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi oleh orang yang bersumpah (( Al Khattan, 2001: 414 ). Realitas ini telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalahnya dan menjadi adat kebiasaan secara turun temurun. Dalam prakteknya, mereka sering menggunakan kata Allah, meskipun mereka dikenal dengan penyembah berhala ( paganism ). Hal ini telah disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 sebagai berikut:

Artinya :”dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran).”

Kebiasaan-kebiasaan qasam yang dilakukan oleh bangsa Arab ini tidak ditolak oleh Islam, tetapi justru dijadikan sarana untuk mengkomusikasikan Al-Qur’an kepada mereka. Hal ini terjadi mengingat Al-Qur’an diturunkan pada masyarakat arab yang menggunakan bahasa Arab ( Hamzah, 2003: 207 ).

Seiring dengan perkembangan zaman, qasam digunakan dalam berbagai hal, seperti sumpah di pengadilan, sumpah jabatan, sumpah organisasi dan lain sebagainya. Melihat reaitas ini, para alim merumuskan ketentuan qasam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Nasruddin Baidan ( 1998: 16 ) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaanya, sumpah harus memenuhi 4 rukun, yaitu: muqsim (pelaku sumpah),muqsam bih (sesuatu yang dipakai sumpah), adat qasam (alat untuk bersumpah), dan muqsam “alaih ( jawab sumpah). Sedangkan Al Khattan menyebutkan 3 unsur qasam, yaitu fi’il yang Ditransitifkan dengan “ba”, muqsam bih dan muqsam alaih ( Al Khattan, 2001: 414 ).

Mengingat qasam merupakan sesuatu yang sakral, maka para alim menggali aturan hukum yang dapat menempatkan sumpah ke dalam posisi yang tetap sakral, yaitu dengan menetapkan konsekuensi yang harus diterima oleh orang yang melakukan sumpah dusta atau melanggar sumpah. Konsekuensi yang dimaksud adalah membayar kafarah sumpah sebagai berikut : (1) Memerdekakan seorang budak, atau (2) Memberi makan sepuluh orang miskin, atau ( 3) Memberi pakain kepada sepuluh orang miskin ( Ibrahim, 1992: 270 ).

C. Unsur Sigat Qasam

Dalam pembahasan unsur- unsur sigat qasam, pemakalah memakai kreteria yang disampaikan Al Khattan sebagai berikut:

1. Fi’il yang Ditransitifkan dengan “Ba”

Dalam praktiknya, fiil qasam sering dihilangkan dan dicukupkan dengan dengan ba, wawu atau ta’. Ketiga huruf inilah yang disebut adat qasam oleh Baidan ( 1998: 114 ). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1993: 295 ) dijelaskan bahwa lafal sumpah harus menggunakan huruf sumpah ( al-qasam ), yaitu waw, ba, dan ta, seperti wallahi ( demi Allah ), billahi ( demi Allah ), dan tallahi ( demi Allah ).

2. Muqsam Bih

Muqsam bih adalah sesuatu yang digunakan untuk bersumpah ( Al Khattan, 2001: 413 ). Kekuatan dan kesakralan sumpah tergantung dari muqsam bih yang digunakan. Termasuk konsekuensi yang akan diterima oleh orang yang mengucapkan.

Dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan muqsam bih dengan apa saja yang dikehendaki ( Al Khattan, 2001: 416 ). Namun, secara garis besar, muqsam bih yang digunakan Allah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Sumpah Allah dengan Dzat-Nya sendiri.

Sumpah Allah dengan Dzat-Nya ini dimaksudkan untuk memantapkan eksistensi Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya ( Al Jauziyah, 2001: 9 ).

Muqsam bih dengan Dzat Allah ini disebut sebanyak 7 tempat dalam Al-Qur’an ( Al Khattan, 2001: 416 ), diantaranya:

Artinya: “ orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”( QS At Tagabun ( 64) : 7 )

Artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” ( QS Al Hijr ( 15 ) : 92)

Artinya: “Demi Tuhanmu, Sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut.” ( QS Maryam (19): 68 )

b. Sumpah Allah dengan sebagian makhluk-Nya

Sumpah ini merupakan sumpah yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an. Sumpah ini digunakan dengan maksud untuk menunjukkan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat-Nya yang agung ( Al Jauziyah, 2001: 9 ), di antaranya :

Artinya: “1. demi matahari dan cahayanya di pagi hari, 2. dan bulan apabila mengiringinya, 3. dan siang apabila menampakkannya, 4. dan malam apabila menutupinya, 5. dan langit serta pembinaannya, 6. dan bumi serta penghamparannya, 7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” ( QS Asy Syams ( 91 ): 1-9 ).

Artinya : “ demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,@ dan demi bukit Sinai,@ dan demi kota (Mekah) ini yang aman,@ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya( QS Attin ( 95 ) : 1-4 )

Artinya: “ demi malam apabila menutupi (cahaya siang),@ dan siang apabila terang benderang, @dan penciptaan laki-laki dan perempuan, @Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda ( QS Al Lail (92) : 1-4 )

Khusus sumpah yang dilakukan manusia, syariat Islam memberikan aturan yang jelas, yaitu bersumpah hanya dengan Allah saja. Sedangkan bersumpah selain Allah dipandang syirik. Yusuf Qardhawi ( 1995: 522 ) menjelaskan bahwa apabila seseorang bersumpah dengan Allah berarti dia mengagungkan-Nya dan mentauhidkan-Nya. Kalau berdusta, ia tinggal menanggung dosanya. Namun, bila seseorang bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik. Fatwa ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. :

من حلف بغير الله فقد اشرك ( رواه احمد والترمذى والحكيم وابن عمر )

Artinya : “Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan syirik.”

Qasam, jika dilihat dari nampak tidaknya fi’il qasam dan muqsam bih dapat dibedakan menjadi 2 ( Al Khattan, 2001: 417 ), yaitu:

a. Zahir, yaitu sumpah yang di dalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Fi’il qasam, kadang disebutkan dan kadang dihilangkan. Fiil qasam yang dihilangkan ini disebabkan karena dipandang cukup dengan huruf jar berupa ba, wawu dan ta’. Contohnya :

IArtinya: (1) aku bersumpah demi hari kiamat,(2) dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri) ( QS A Qiyamah ( 75 ) : 1-2 )

Artinya: “(1) demi matahari dan cahayanya di pagi hari,(2) dan bulan apabila mengiringinya,( QS Asy-Syams ( 91 ): 1-2 )

b. Mudmar yaitu sumpah yang di dalamnya tidak disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih, tetapi ditunjukkan oleh “ lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran : 186 :

Artinya : “ kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.”

3. Muqsam ‘Alaih

Muqsam ‘alaih atau dikenal dengan jawab qasam adalah sesuatu yang karenanya sumpah diucapkan. Dengan kata lain, qasam diucapkan karena untuk mengukuhkan muqsam alaih. Mudzakir, dalam menterjemahkan kitab Mabahis fi “ulumil Qur’an memberi penjelasan bahwa dalam gramatika bahasa Arab, qasam dan syarat merupakan unsur suatu kalimat. Keduanya harus mempunyai pernyataan jawab yang lazim disebut jawab qasam (muqsam alaih ), seperti kalimat “ Demi Allah, saya akan bersedekah “, dan jawab syarat, seperti kalimat “ Jika kamu rajin belajar, tentu akan pandai. (Al Khattan, 2001: 422 )

Berkaitan dengan pembahasan muqsam alaih, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan , yaitu :

a. Materi muqsam ‘alaih haruslah materi yang layak dikuatkan, seperti berita ghaib, bukan hal-hal kecil dan remeh.

b. Muqsam alaih pada umumnya disebutkan, namun kadang ada juga yang dihilangkan. Adapun contoh jawab qasam yang disebutkan adalah :

Artinya: “(1) demi matahari dan cahayanya di pagi hari, (2) dan bulan apabila mengiringinya, (3)dan siang apabila menampakkannya, (4) dan malam apabila menutupinya (5) dan langit serta pembinaannya, (6) dan bumi serta penghamparannya, (7) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), (8). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya(9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, ( QS Asy Syams ( 91 ) : 1-9 ).

Sedangkan contoh jawab qasam yang dihilangkan adalah:

Artinya: “ (1) demi fajar, (2) dan malam yang sepuluh (3) dan yang genap dan yang ganjil, (4) dan malam bila berlalu. (5) pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. (6) Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad? ( QS Al Fajr ( 89 ) : 1-6 ).

Menurut sebagian ulama bahwa jawab qasam pada ayat di atas dihilang, yakni “ Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Mekkah. Meskipun demikian, Al Khattan berpendapat lain, bahwa ayat di atas sebenarnya tidak memerlukan jawab, karena muqsam bihnya adalah waktu yang mengandung amal yang pantas untuk dijadikan oleh Allah sebagai muqsam bih.

c. Allah bersumpah untuk menetapkan bahwa muqsam alaih merupakan pokok –pokok keimanan yang wajib diketahui oleh makhluknya . Adapun ayat-ayat tersebut diantaranya sebagai berikut :

Artinya: (1) Yaa siin (2) demi Al Quran yang penuh hikmah,(3). Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul,( QS Yasin ( 36 ) : 1-3 )

Artinya: “(1)demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya (2) dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat),(3)dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, (4) Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.”(QS Ashshffat: 1-4)

d. Muqsam alaih, jika dilihat dari jumlah ( kalimat ) yang digunakan ada 2 yaitu jumlah khabariyah dan thalabiyah. Jumlah Khabariyah adalah kalimat berita yang bersifat informatif dan inilah yang paling banyak sebagaimana firman Allah :

Artinya:” Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti Perkataan yang kamu ucapkan.” ( QS Az-Zariyat ( 51 ): 23 )

Adapun jumlah talabiyah adalah kalimat yang tidak informatif yang berisi perintah, larangan, pertanyaan dan sebagainya.Sebagaimana firman Allah :

Artinya:”. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, @ tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” ( QS Al Hijr ( 15) : 92-93 ).

III. KESIMPULAN

Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari mekalah di atas, yaitu :

a. Qasam adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya dengan menggunakan huruf sumpah ( al-qasam), yaitu waw, ba, dan ta, seperti wallahi ( demi Allah ), billahi (demi Allah ), dan tallahi ( demi Allah ).

b. Qasam berfaedah untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran dalam jiwa tentang sesuatu yang diucapkan/ disampaikan kepada mukhatab dengan menggunakan sesuatu yang dipandang agung, besar dan sakral. Dalam Islam, sesuatu yang boleh digunakan untuk sumpah oleh manusia adalah Allah dan sifat-sifatnya, sedangkan bagi Allah berhak menggunakan sumpah dengan apa saja yang dikehendaki, baik Dzat-Nya sendiri ataupun makhluk-Nya.

c. Ada tiga unsur qasam, yaitu fi’il yang Ditransitifkan dengan “ba”( adat qasam), muqsam bih dan muqsam alaih. Adat qasam terdiri dari tiga huruf, yaitu ba, ta, dan wawu. Muqsam bih bagi Allah meliputi Dzat-Nya dan makhluk-Nya, sedangkan bagi manusia, muqsam bih harus kepada Allah atau sifat-sifat-Nya. Muqsam ‘alaih adalah jawab qasam.

IV. PENUTUP

Banyak hal yang belum dibahas dan dikupas dalam makalah ini berkaitan dengan konsep Al-Qur’an mengenai qasam. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan pemalakah, di antaranya hikmah dibalik redaksional aqsam yang digunakan oleh Al-Qur’an. Di samping itu, kesalahan pemahaman pun sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, masukan, kritik, saran yang konstruktif sangat diperlukan demi perbaikan

DAFTAR PUSTAKA

Al Jauziyah, Ibnu Qayyum. 2001. At tibyanu fi Aqsamil Qur’ani. Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyah.

Al Khattan, Manna” Khalil. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Depag RI. 1993. Ensiklopedi Hukum Islam. Cet.I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media

Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Imam Abu Ishaq. 1992. Kunci Fiqih Syafi’i. Terj. Hafid Abdullah.Semarang: Asy-Syifa’

Qardhawi, Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Terj. As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press

Shihab, M. Quraish. 1998. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet.VIII. Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir Al Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Cet.VII. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M.Quraish. 1999. ”Membumikan” Al-Quran. Cet.XIX . Bandung: Mizan

And Hamid © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute